Tuesday, May 7, 2013

Aku, Realitas  & Pribadiku (I)

by Ellyssee Lavin (Notes) on Sunday, June 20, 2010 at 10:55am



Aku seorang wanita, anak dr kedua pasang orang tua (ortu kandung & mertua) isteri dari suami, Ibu dari anakku, kakak tertua dr iparku, dan adik dari kedua saudara laki laki yg kumiliki.
Peranku memerlukan kepribadian yg luwes, wise, dan multifungsi, disamping menjadi bagian dari sekitar lingkungan yg dituntut matang menghadapi segala situasi dan kondisi yg tidak dapat dihindari.
Itulah hidup manusia, dominan dihadapkan dengan realitas dan romantika dunia ditinjau dari sosialisasi dan tanggung jawab morilnya secara umum sbg makhluk yang bergantung terhadap sesamanya.

Hubungan antar manusia tidaklah selalu mulus seperti kehendak pribadinya, aneka warna rupa, status, jenis kelamin, pangkat, harta dan kedudukan, sudah menjadi tradisi menjadi kelas kelas tersendiri dalam pengklasifikasian cara masing2 manusia dlm menghadapi, mengakui dan termasuk menghargainya.
Tidak heran, jika penguasa, yg terpandang, berkedudukan, tokoh masyarakat, si miskin, si kaya, si cantik, si tampan dan buruk rupa, mau tidak mau mendapatkan predikat atas posisinya. Entah apa sebabnya perbedaan2 tsb diatas menjadikan jenjang yang panjang, dan menimbulkan kecemburuan sosial yang mengecewakan pihak2 lapisan yg kurang dihargai, dan sebagian tanpa diminta menilai dan menghormatinya secara istimewa.

Mereka terlanjur berasumsi bahwa yg berposisi diatas, dan berkulit bening adalah yang berhak, pantas, berkualitas dan patut disanjung secara khas, sebaliknya, yang ada dibawah tanpa adalah yg tertindas, membuat mereka enggan menengok dan menghargainya dg pantas.
Mereka lupa dan sengaja melupakan bahwa hakikat manusia adalah sama, memiliki hati, rasa, fikiran, keinginan, dan dan yg terpenting adalah sama2 makhluk sederhana yg harus telanjang dr segala predikat, atribut, identitas, pakaian, dan kulit pembungkus batinnya, karena hakikatnya manusia adalah makhluk spiritual, dimana urusan tentang keduniawian adalah semata cangkang yg akan membusukan dirinya jika tidak segera dikupas dan dibuang.

Aku pun dulu sangat bodoh dalam belenggu mata yang terbeliak pada khalayak alam fatamorgana dan ilusi rasa, terjebak pada buah kelapa yang tak mampu kukupas dan nikmati isinya, hanya kupegang, kutimang2, kuteliti kulitnya dalam kegamangan yang membingungkan, sungguh memalukan.
Aku terlahir dr keluarga kecil sederhana, terbiasa merasa cukup dlm situasi ekonomi yg kurang dr cukup, tapi aku besar dlm keluarga yang kaya akan perhatian dan kasih sayang, membuat kami semua kenyang dan berkecukupan rasa dalam hidup yg penuh keprihatinan, easy going with love families.... ;)
Aku terbiasa dgn keterbukaan satu sama lain, saling membuka hati, mengenali dan menutupi apa yg terjadi dalam kekurangan atau tempaan batin satu sama lain, bincang2 kami tak luput dari isi dan kualitas hati, membuat kami menjadi keluarga yg cukup peduli dg manisnya harmonisasi.
Keadaan yg kurang, tdk membuat kami merisaukan kepuasan dan kebahagiaan, terbiasa utk selalu menerima apa yang ada, menikmatinya dgn sedikit berbagi adalah menjadi kelebihan rejeki kami yg tak ternilai dg materi.

Beranjak dewasa, aku mulai diajarkan mandiri, sekolah dg tempat tggl kost, kuliah dg tggl di rumah saudara, yang keduanya merupakan pengalaman riwayat hidup yang tidak enak dan memilukan pada saat itu, pun jika dikenang tanpa kesadaran.
Berbekal ilmu kepribadian dr keluarga, dan keterampilan mengerjakan pek rumah tangga, aku mampu melewatinya dg jatuh bangun dan tangisan air mata yg kerap disembunyikan di halaman belakang rumah tetangga. Menahan rasa pedih, kecewa, adalah menjadi biasa dan terlatih hingga ak mampu selesaikan belajar dg mulus, meskipun ternyata kegemilangan prestasiku awal masalah besar karena kecemburuan saudaraku, dimana ak tggl di rmhnya dan kuliah dlm jurusan yg sama.
Singkat cerita, ak mulai dijauhi, hub persaudaraan kami tdk senyaman sebelumnya lg, dg fitnahan yg kuterima dr mslh kuliah, sampai akhirnya hub ak dg pacarku (skrg jd suami) dipecah belah dan diadu dombakan dg sadisnya, sungguh diluar dugaan.

Sekali lagi, dgn terbiasa hidup menerima tempaan dlm segala persoalan, aku mampu melewatinya dan berhasil mempertahankan hub kami sampai menikah kemudian, perjalanan yg tdk mudah, mahal dan sakral.
Masih belum seberapa, karena setelh menikah tempaan hidup tidak berhenti sampai disana, apapun itu, aku telah lewati dgn kepekaan batin yang kuperjuangkan disetiap helaan nafas kehidupan sampai detik ini, hingga segalanya berubah kurasakan, kepedihan menjadi kenikmatan yg mengandung candu tanpa penawarnya, kesulitan menjadi makanan yg lezat yg mampu mengenyangkan dan menghapus dahaga rasa kebatinan.

Aku, Realitas & Pribadiku...(2)

by Ellyssee Lavin (Notes) on Sunday, June 20, 2010 at 9:05pm


Ketika melewati segala realitas hidup dan sejuta sensasi rasa, batinku teramat lugu dalam bajunya, laksana badut yg bingung memainkan aksinya, hanya mondar mandir di depan kaca yg buram tanpa bayangan jelas, tak mampu melihat rupaku atau sekedar berhias.
Ketika menerima segala hal yg tak kusuka, menjadi kepiluan diatas kecewa, ketika menerima pukulan yang menyakitkan, menciptakan luka perih dan kepedihan yang dalam, ketika tersudut, terpuruk dari beban dan tekanan dlm kesendirian, membuatku limbung dalam kebingungan diatas ketakberdayaan, berat, sakit, pedih, pilu, dan menyedihkan, itulah aku semasa buta mencari "gaya" dalam cara mencari kejati dirian.

Keterbatasan ilmu n pengalama membuatku nampak tolol dimataku sendiri, tak memiliki pengetahuan, tdk memahami kesejatian yg kukira mustahil kukejar, karena aku bingung mencari pegangan yg dpt memberikan bimbingan.
Kesana kemari berharap n berkhayal dlm dambaan, ingin mendapatkan seorang guru demi menemukan asali siapa aku.
Hingga suatu saat aku harus ditherapy dgn masalah kandunganku, salah satu saudara sepupuku menyarankan dan mengajaku menemui guru spiritualnya di daerah Jakarta waktu itu, aku dan suami sepakat n menyetujui anjuran sepupuku. Singkat cerita kami bertemu dan menceritakan apa maksud dan tujuan yg dibawa kesana, awalnya kupikir therapy yg diberikan adlh seputar dunia alternatif pengobatan, tetapi sungguh diluar dugaan, org tsb sama sekali tdk menyinggung ttg medis atau sisi alternatif pengobatan yg kuduga sblmnya. Yang kuterima justru therapy spiritual, n yg pertama kali aku tahu, beliau mengajariku ttg menghidupkan energi murni dr tubuhku, pemasrahan diri, dzikir2, meditasi, dan anjuran pola makan (vegetarian), selebihnya byk diberikan pencerahan2. Setelah melakukan semuanya, entah sugesti atau apa, Tuhan mengabulkan do'a dan membuahkan hasil dr segala upaya, lahirlah Vina, anakku yg pertama yg ditunggu sekian lama.
Dengan hadirnya Vina, aku masih penasaran dg Guru Spiritual tsb yg telah byk memberikan ilmu, aku tinjau ulang awal kejadian itu, bukan suatu kebetulan, bukan pula keberuntungan, tetapi ini Rencana n Kehendak Tuhan, betapa Tangan HalusNYA menuntunku tuk mendapatkan keyakinan baru.

Adalah aku telah mulai mampu perlahan membuka mata batinku, dgn ilmu dariNya, aku merasakan ketagihan akan rasa dimana aku tengah melaksanakan therapy2 darinya, nikmat dzikir, ketenangan dlm meditasi, tak sabar menanti waktu shalat, dan rindu mengenangNYA setiap saat, percaya atw tidak, ketika ak melakukan semuanya, entah knp aku malah terlupa dg tujuan semula (ingin mempunyai anak), aku merasa terlena dg rasa Nikmat setiap saat memuji dan memujaNYA, aku telah dibuat Jatuh Cinta dg kemabukan yg tercipta tiba2, aku tdk lagi ingat akan tujuan sebelumnya, yg aku rasa hanya nyaman, damai, nikmat dan merasakan kebebasan pribadi yg sulit digambarkan dg kata2. Itu awal aku mengetahui akan "hakikat" hidup dan keTuhanan dgn jalan yg tak disangka sangka.

Selanjutnya, setelah itu hidupku berubah, karirku naik pesat, materi kudapatkan dg mudah, dan apa yg terjadi, aku mulai goyah dg keduniawian, aku tdk lg rajin melakukan meditasi, dzikir2 Illahi dan mengenang sang Rabbi, kesibukan kerja dsb, membuatku angkuh hati dlm perjalanan mengenali diri, nikmat yang sengsara, puas yang menebar bisa, bangga yg memenjara, kesenangan yang palsu semata.
Namun Tuhan tetap Setia dan begitu mencintaiku, meraih dan merangkulku segera melalui satu prahara, aku pulang dr Jakarta, meninggalkan segala kenangan, dan kesenangan dr kemewahan dunia yg tengah kunikmati dg bangga. Keputusan suami n mertua adlh Kehendak Tuhan yg tak mampu kutolak lg, aku ikuti dan menerima apa yg terjadi, dimana dg jujur aku akui, saat itu menyakitkan dan terpaksa kujalani.
Tanpa aku ceritakan detailnya, (sebenarnya sudah diceritakan scr singkat dlm catatanku yg tdk tuntas kubuat dg judul "Sirat Batin, Surat Jiwa...") aku jatuh bangun dalam episode itu, betapa level penderitaan yg kuterima sangat luar biasa bagi batin dan jiwa.

Aku yg masih mentah, aku yg masih bodoh, terlunta lunta menahan sesak sakit rasa penolakan yg meronta, ingin berlari dan mengakhiri kenyerian yg menyiksa diri, bgm tidak, yg terjadi membuatku tak mampu teriak dan menangis ketika merasakan sakitnya, tak munkin n tak berdaya menolak, tak mampu juga menerima, posisiku sangat sulit, istilahnya apapun yg kulakukan amat berat resikonya, bagaikan buah simalakama.
Mencintai suami dan si buah hati, menyayangi keluarga n org tua, adalah alasan pertama yg membuatku bertahan, meski harus susah payah kujaga dan kupelihara dlm keironisan, bertepuk sebelah tangan.
Tuhan tak menghendaki aku larut dlm kebimbangan dan ketidakpastian akan pemahaman "hidup" yg aku kira mulai ragu utk menjalaninya dlm sanggup, batinku mulai berdenyut hidup, matanya perlahan terbuka, aku mulai terbiasa menerima kepahitan dan kenyerian segala luka, jiwaku mulai lentur bijak sikapi rasa, dalam diam dan diam aku kunyah dan kutelan perlahan, hatiku mulai lembut kenali keikhlasan.

No comments:

Post a Comment