Aral Perjalanan...
by Ellyssee Lavin (Notes) on Tuesday, January 26, 2010 at 2:44pm
Bukan maksudku marah kepada kerikil batu
Saat kakiku sakit terkilir terantuk pada salah satumu
Tak sengaja bibirku bergerak melepas keluh
Mungkin karena rasa sakit dikakiku selalu setia menyatu dan mengadu
Sejenak kuterduduk lesu, tanpa alas, debupun diantar sang angin menyapu tubuhku
Kernyit kening turut menyiratkan kesal
Gigitpun sengaja melukai bibir dalam bisu yang getir
Mataku terpejam membuai rasa sesak di relung yang merajam
Sementara angin pun seolah ikut terdiam, menemaniku dalam sakit tertahan
Jiwa didalam bertanya menuntut jawab yang sejujurnya
Nurani pun sendu, meratapi kecengenganku
Betapa sulit hatiku menjaga neraca disinggasananya
Senantiasa tak tetap menimbang antara kesiapan diantara sadar dan perlawanan
Bukan niatku singgah dalam gelisah
Tapi badai telah mendahuluiku sebelum melangkah
Terpaksa perjalananku terhenti saat baru kumulai
Maafkan aku, ternyata tak sekuat yang kukira
Ampuni aku, jika terlalu lemah dari sebelumnya
Andai aku setenang permukaan telaga
Andai aku setegar karang dihamparan samudera
Tidak mudah mendayung perahu kecil ini dg tangan sebelah
Jika tangan satunya masih tak kuat tenaga untuk membantu mengayuhnya
Romantika, ijinkan kali ini aku yang mencipta
Sedikit menggubah cerita memaparkan yang kini mendera
Beri kesempatan aku untuk sekejap memerangi ragu
dan...
Angin, bantu aku dan hantarkan aku melaju
Ku tak mau terdiam sendirian dan kedinginan membeku diatas perahu
Sementara biar kukemas bulir bening air mata, dan mengusap perih luka yang ternganga
Diamlah tangisku, lekas usaikan isakmu, sebelum waktu datang mengguruimu
Tapi angin hanya terdiam dipusarannya, dan
"Nuraniku menggeliat menasehatiku..."
Berpaculah dalam senyum bijak ketenangan, karena tak kan sampai hanya dengan irama sedu sedan
Bila luka menggayuti hati, jangan biarkan dia merambah menjamah sukma
Karena dia tak kan mengerti, karena pedihmu tak kan dikenalinya
Biarkan lara mengalir hingga sampai dibalik titik nadir
Tak usah pedulikan rasanya yang pahit dan getir, biarkan dia temui kepada sang Sirr..
Duhai raga,
Engkau hanyalah ibarat baju tentara
Sebagai pelengkap seragam dalam utusan peperangan
Dan senjatamu adalah sepicuk hati berpelurukan butir kesadaran
Musuhmu adalah ego ego yang timpang, keinginan2 pincang yang tak terjawab batasan, nafsu nafsu yang haus akan mayanya kepuasan, dan obsesi yang menutupi penglihatan kemurnian hati, serta fikiran fikiran yang selalu mengabaikan keseimbangan, hingga selalu sulit menempatkan keikhlasan
Jangan terjebak dengan permainan emosi, yang diciptakan fikiranmu sendiri
Warna bajumu tak penting lagi dalam peperangan ini
Terluka sedikit akan menjadi pengorbanan yang teramat mulia, karena akan membakar semangatmu untuk lebih waspada
Kuatkan dan optimalkan kamu punya senjata, agar kau selamat dari lawan dan musuh musuhmu yang berbahaya
Begitu pula saat kau mengarungi samudera, jika kau mencintai ketenangannya, maka bersahabatlah dengan badainya, karena mereka adalah sesama dalam semestanya, jangan melawan terjangannya, karena kau akan segera menerima kebuasannya, bertahan dan ikutilah arah dan arusnya dalam sadar dan tetap mendatar
Badai dan samudera akan selalu sepasang, hidup berdampingan dan seimbang, harmonis dalam kebijaksanaan
Lanjutkan perjalanan, hadapi peperangan, tak ada yang harus dan pantas ditakutkan, kecuali niatmu hanya separuh keyakinan...
No comments:
Post a Comment