Tuesday, May 7, 2013

Gumam Siang.............. (ellyssee lavin)

by Ellyssee Lavin (Notes) on Sunday, February 7, 2010 at 2:23pm


Siang telanjang dalam kegersangan
Membaur terik dalam debu dijalanan
Penat seolah akrab melekat enggan lepas dari tubuh yang tersengat
Udara marah terpanggang dalam hawa yang terangsang
Tanahpun menggeliat retak jengah saat terpijak
Aaakhhhh........

Kakiku mulai merajuk keluh tanpa mengaduh
Kernyit dahi seperti enggan menjawab sapa mentari
Mataku menyipit mencoba mengelak panas silau yang mengimpit
Peluh mengalir membasahi kerontang tubuh
Otakku menghardik jarak panjang yang semakin sulit
Aaaaarrrgghh.......

Kuputuskan menepi dan berhenti
Tanganku basah tak henti menyeka tetes keringat yang membasuhi tepi sudut
mata
Kepalaku mulai panas dibawah tudung yang enggan kulepas
Kerongkongan mulai menyempit kering dan membuatku kian lemas tak berkutik
Aku lupa membawa bekal air tadi
Biarlah, kubasahi meski dengan hanya menelan air liur dan ludah lagi

Kududuk diatas rumput hijau yang rebah lelah terlindas langkah
Kubersandar pada batang pohon yang cukup bidang dan besar
Rimbunnya daun daun hijau menaungiku penuh tahu
"...bersandarlah didadaku, dan kulindungi kau dari panasnya harimu..."
desau dan desahnya, seolah mengujar padaku, dan aku tersenyum memaknai sendiri alibiku

Wahai hari ini...
Sedari pagi aku ikuti
Tanpa tahu kemana maksudmu kau ajari diri ini
Dan yang kulewati, sebelum aku pergi
Suasana manusia masih sombong tak meramahi aku lagi
Namun aku tak peduli, mereka dan akupun tak perlu lagi dimengerti
Mereka masih begitu betah menikmati ego yang sangat mentah
Selalu bergairah menarikan lidah, mendelikan hati dalam lecutan ambisi

Gumam jiwamu mungkin terlalu pelan untuk kau dengarkan
Karena bahasanya pun tak pernah kau belajar untuk faham
Hatimu terlalu sering kau butakan, dengan sengaja nalar budimu kau binasakan dari kebijaksanaan

Maafkan aku
Jujur kubilang, aku mulai muak dengan kamu kamu
Tak pernah kau terima ketika aku tulus memberi
Tak pernah kau bisa menatap kejujuranku dari sinar mata
Tak pernah kau akui aku sayang dari hati
Tak pernah kau hargai aku karena tuna duniawi

Haruskah aku paksakan kebersamaan saat kapal yang sama diperebutkan
Melawan yang tak kuinginkan saling membedakan haluan

Rupanya fikir, hati, dan rasa kita teramat begitu berbeda
Mereka teramat memuja raga dan pakaian pakaian atau jubah jubah sutra berenda
Sementara aku lebih suka menyanyikan rindu nurani, menyeka suci isi hati demi pakaian pakaian jiwa agar tak mudah ternoda
Mereka lebih suka memasang emas ditangan dan lehernya
Sementara bagiku, keemasan hatipun begitu sukar kudapatkan kilauannya

Bagaimana mungkin aku bisa satu kapal
Sementara tujuan kalianpun belum aku hafal
Aku hanya bisa menerka dan membaca dari peta kamu kamu yang buram tanpa aksara
Jika mengenali diri kalian saja begitu gelapnya
Bagaimana mungkin kalian tahu arah perjalanan dengan membaca peta buta
Karena kalian hanya menggunakan mata biasa untuk membacanya
Sementara yang diperlukan adalah cahaya jiwa sebagai matanya yang mampu mengeja dan menafsirkannya

Maafkan aku
Lelah sudah kutemani kamu kamu
Mengabdikan tenaga, fikiran dan kasih sayang yang tidak kepalang
Namun kalian tak terimaku seperti aku memberimu
Bukan pamrih yang aku pilih
Namun kasih yang kau mengerti bukan dari makna sebenar yang terpilih
Bukan aku tak menerima, tapi ada yang lebih menganggapku jauh berharga dari sekedar cinta atau permata

Karena aku mulai faham
Aku bukan orang yang diharapkan
Hadir dengan kelengkapan kaki, muka dan tangan, dan hatinya tidak pernah kalian risaukan
Akhirnya hanya tenaga dari ragaku yang kalian perhitungkan, andai aku lengah mengabdikan, maka kalian tak segan menghakimiku tanpa cacian, merajamku dalam tajamnya tatapan penuh cabikan
Jangankan maaf, tanyapun tak pernah terlontar
Jangankan pujian, wajah wajahmu terlalu tegang untuk dipoles senyuman

Dusta jika kuberkata tak mengapa
Hatiku telah banyak alami luka
Namun aku bangga, lukaku mungkin sembuh lama, namun hatiku tetap utuh, masih selamat daripada celaka

Bohong namanya kalau aku bilang bahagia
Tinggal dalam sangkar emas bergelimang harta tak bernyawa
Batinku telah letih merangkum pedih
Badanku hampa menahan sesal kecewa
Aku telah lalai mendengarkan ratapan jiwa
Dunia dan hidupku telah kutaruh dalam pentas yang keliru

Maafkan aku
Jika kini mulai merubah caraku
Tak ingin lagi banyak bicara
Tak peduli lagi kalian cabarkan siksa lewat pancaran mata durjana
Tak ingin lagi memberi dalam lebih diatas jiwaku yang terabai pedih
Tak akan aku seperti aku yang manut lagi
Hanya untuk mengabdi kepada manusia yang hidup tanpa hati dan jiwanya mati

Aku adalah Aku
Segenap jiwa raga dan sukma sebenar benarnya
Aku dan tujuanku, perjalananku dan kehidupanku
Tak semestinya cemas kepada manusia yang hakikatnya selalu dijerat lemas
Aku tak akan memasung langkahku meneruskan hidupku karena manusia manusia itu
Aku hanya akan setia pada bayanganku
Dimana mulai kutahu keberadaanku,
Dimana aku mulai tau jika didalam tak hanya ada sukmaku

Dia Ada menjadi alasan hidup dan matiku
Dan Dia ada menjadi penjamin HAKIKATKU

No comments:

Post a Comment