Tuesday, May 7, 2013

Perang Hati, Perang Sejati.....

by Ellyssee Lavin (Notes) on Wednesday, January 27, 2010 at 2:24pm





Seperti gugurnya kembang kuncup yang nyaris mekar, luruh penuh sesal meninggalkan sang tangkai

Seperti hujan yang deras menghanyutkan anak rerumputan, menanggalkan kegersangan tanah yang telanjang

Seperti mentari yang sumringah, saat senja kembali perlahan kembali pulang dalam lelah dibalik lembah, menyisakan semburat jingga dan langitpun pasrah melukis merah

Seperti ombak yang melempar landai, menghempas pasir putih, lalu kembali pulang ke samudera meninggalkan buih basahnya tanpa pamit kata

Begitu pula lukisan Cintamu
Terlalu banyak garis dan warna fatamorgana, menyisakan ketak mengertian dan kerumunan tanya dihatiku

Aku telah jauh memaparkan langkah dalam padang pasir dan bebatuan yang membongkah, bukan sekedar dalam hasrat yang cuma setengah

Aku telah penuh mengisi hati dengan rindu paling merdu dalam nyanyian jenjangnya sang waktu, hingga habis ruang dan relungku dipenuhi segalamu

Aku telah habis menguntai mengerti dalam senyum rembulan, dari segala kealfaan dan kurangmu, agar hanya aku yang pasti menjadi belahan dari jiwamu

Aku telah terbiasa menangis pada bening telaga saat ku tak ingin kau tahu bahwa aku tersandung kecewa

Aku telah kehabisan cara menceritakan gundahnya rasa pada malam yang gulita, karena aku tak ingin kau tau betapa ucapmu tak sengaja menorehkan luka di dadaku

Aku pun telah lelah menumpahkan marah pada mentari merah, saat kau mulai dingin tak ramah, dan membiarkanku dalam beku yang tak tak terbelah

Aku telah mulai bosan memberi alasan pada sang bulan, kenapa wajahku pucat dilumuri lamunan, padahal semestinya tidurku sempurna cantik dalam senyuman

Aku tak tahu lagi
Apa yang harus kuucapkan pada indahnya pagi, saat terbangun dalam mata yang sembab dan wajah yang pucat tak berseri, sementara burung2 pun bernyanyi

Apa pula yang bisa kukabarkan pada cerahnya siang dan kembang2 di rerumputan, sedangkan akupun tak tau harus sampai kapan mengemas tangis dan bahagia dalam bungkus kepura2an, sementara mereka begitu bebas mekar bersemi meski hanya tumbuh tengah liarnya ilalang

Nurani pun tak pernah membisu, selalu menjadi Guru dalam kebodohanku.....
 
"dengarlah wahai jiwa..."

Lukisan...
Hanyalah goresan kuas penuh warna diatas kanvas, yang tak perlu kumengerti jika hati ini bisa bebas seperti samudera luas yang lepas

Padang Pasir...
Tanah gersang yang sombong dari sejuknya air, dan membuatmu dahaga tanpa akhir, tak perlu kau memaksa berjalan diatasnya, jika masih ada hutan dan pegunungan yang kaya akan rasa Cinta meski tak mungkin tak ada bahaya

Rindumu terlalu indah diperdengarkan pada kesombongan sang waktu, namun kau bisa simpan dan mengisikannya dikehampaan sang waktu, karena rindumu membutuhkan kesendirian yang bukan sekedar kekosongan

Mengapa harus merisaukan tanya sang rembulan, jika hatimu masih jauh lebih mengerti, dan mampu membawa rembulan ke dalam hatimu, bukan gundahmu yang tak lagi kau perlu

Tak perlu mengadukan tangisanmu pada beningnya telaga, sementara jiwamu adalah samudera yang lebih dalam dan luas mampu untuk membendungnya

Jadikanlah malam untuk temanmu merawat luka, bukan untuk menyembunyikannya dan tetap membiarkannya menganga, jangan pula tidur atau bertelanjang mata, terjagalah dalam pejam namun bkn utk bermalam, tapi cari obat lukamu yang hanya ada dalam diam di senyapnya malam2mu

Untuk apa kau tumpahkan marah pada mentari merah, sementara langit birupun begitu pasrah saat menerima bara dan sengatnya hingga jingganya senja begitu memerah

Ingat...
Bulanpun terjaga menjaga cakrawala yang gulita, mengapa hatimu tidak, lelapmu tak kan membuat tidurmu sempurna diatas luka, tetaplah terjaga agar selalu waspada dari sejuta rasa yang membuatmu mudah terluka dan berduka, agar pejammu hanya untuk hampa yang sempurna

Sambutlah pagi dengan kemurnian hati dan keseimbangan yang hakiki, agar neracamu tak mudah berubah lagi, dan kaupun bisa berguru dari embun dan nyanyian burung2 kenari, betapa hidup terlalu singkat untuk kau sambut dengan hati yang pucat pasi

Tidakkah kau malu pada sekuntum kembang yang tumbuh cantik tegar di tengah rumput2 liar di padang ilallang, tepap segar dan mekar dibawah siang yang panas telanjang, sendirian tanpa kawan, tiada layu sebelum tiba waktu, tetap berseri walau tiada yang memuji, bertahan dalam nakalnya angin dan debu, tak goyah dan rebah saat ilalang usil menjamah

Tabahlah...
Kuatlah...
Sabarmu terlalu indah dibalas kalah...
Tegarlah...
Dirimu terlalu hebat untuk cepat menyerah
Berjalanlah dalam langkah yang mengayun pasti pasrah
Jalanmu hanya engkau yang tau, bukan sesiapa berhak mengaturmu
Dirimu adalah Dirimu
Adalah keliru kau setia pada selir hatimu
Sementara telah kau tahu jati Dirimu
Meski sedikit dari mengeja buku Nadir dari Dirimu
Itulah kenyataan siapa Sejatimu, bukan teman tidur atau kawan baikmu

Yakinlah Kembaraku
Perjalananmu adalah hakikat hidupmu
Siang dan malam telah banyak menuturkan ilmu
Dukamupun setia membakar hasrat Juangmu, berperanglah dalam ikhlas selaras pasrah

Menuju Satu Pasti Kemenanganmu


No comments:

Post a Comment